RiN's 夢 の 森

A place where the reality lies beneath the illusion

Kalau, tiba-tiba seorang anak dimarahi tanpa ada basis,

"Dasar ga punya otak! Percuma lo gua sekolahin sampe tinggi kalau kurang ajar sama orang tua! Dasar goblok, tolol, ga guna!"

Apa itu benar? Mungkin untuk sebagian besar orang yang tidak tahu akar masalah pasti akan berasumsi bahwa sang anak telah berlaku atau berkata kurang ajar pada orang tua, yang sebenarnya tidak boleh dilakukan dan hal ini berarti membenarkan kata-kata yang cukup kasar di atas. Tapi, apa hal itu sepenuhnya benar? Apakah menggunakan stereotip atas asumsi seperti itu selalu benar? Kenapa tidak pernah ada orang yang mau mendengarkan cerita dari sisi sang anak sendiri? Apakah orang tua di negara ini adalah seseorang yang selalu benar dan HARUS selalu didengarkan kata-katanya?

Seorang anak adalah makhluk hidup yang mempunyai kemampuan untuk belajar yang sangat luar biasa. Seorang anak bagaikan kertas putih polos yang bisa tertoreh tinta warna-warni di atasnya. Baik itu hal yang baik dan hal buruk, akan mulai terbentuk dari lingkungan yang paling dekat dari diri mereka, yakni orang tua dan teman-teman. Apakah kata-kata seperti itu bisa muncul karena pergaulan yang salah? Atau pendidikan di sekolah yang salah? Perlu diketahui, seorang anak juga punya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang salah. Hal inilah yang perlu ditekankan dalam kasus di atas sebelum orang bisa mengambil kesimpulan.

"Apakah aku harus menghormati seseorang yang menurutku tidak pantas untuk dihormati? Baik kata-kata maupun tindakannya tidak mencerminkan teladan yang benar bagi anaknya. Apakah semua perilakunya itu tetap memberikan dirinya hak untuk dihormati olehku? Aku punya prinsip untuk tidak menghormati orang yang menurutku tidak pantas dihormati."

Orang tua harusnya menjadi panutan dan contoh yang baik bagi anak-anaknya, bukan? Tapi tindakan semena-mena, kata-kata kasar, hinaan, cemoohan, merokok, memukuli orang lain, apakah itu hal yang patut ditiru oleh seorang anak? Meski orang tua sudah memenuhi kewajibannya untuk membayar biaya pendidikan, memberikan tempat untuk tinggal, dan memenuhi kebutuhan hidup tetap memberikannya alasan untuk dihormati? Tidak pernahkah sang orang tua berpikir bahwa sebenarnya sang anakpun tidak punya kesempatan untuk memilih di mana ia bisa lahir. Jikalau diberi kesempatan oleh Tuhan, seorang anak tentunya akan memilih lingkungan yang baik untuk lahir. Lingkungan di mana ia bisa memperoleh perlindungan, cinta kasih, pendidikan, dan semua kebutuhan-kebutuhannya yang lain.

Apabila orang tua hanya memenuhi kewajibannya, bukankah sang anakpun hanya perlu untuk memenuhi kebutuhannya untuk berperan sebagai "anak baik" dan keluarga yang baik? Apakah sang anak tetap harus dipaksa untuk mengkhianati hatinya sendiri dan berpura-pura menghormati orang tua tersebut? Apakah sang anak yang telah memenuhi perannya dan berusaha untuk menekan perasaan dalam dirinya masih harus dimaki, dicerca, ditertawai, atau bahkan dipukuli oleh sang orang tua ketika kehilangan kontrol diri sebentar saja? Salahkah bila sang anak memiliki keinginan untuk tidak kembali ke orang tuanya? Lagi-lagi, Apakah orang tua seperti itu masih punya hak untuk dihormati? Tidak bisakah orang tua tersebut berefleksi untuk menatap dirinya sendiri?

Mungkin sang anak pun perlu kembali berkaca diri. Mungkin kebanyakan orang akan berkata, "Bagaimanapun, dia tetap orang tuamu!" kepada sang anak. Akan tetapi, tetap tak bisa dipungkiri oleh sang anak, hatinya telah menolak untuk menghormati orang tua. Haruskah sang anak menjadi sosok munafik di tengah masyarakat yang berperilaku bertolak belakang dengan hati nuraninya? Haruskah sang anak terus mengalah dan mengkhianati prinsip dirinya sendiri untuk tetap diam atas perilaku orang tuanya tersebut?

Itulah sedikit refleksi diri yang ingin aku curahkan dalam blog ini. Baik untuk sang anak dan orang tua sendiri, semoga refleksi kecil ini dapat menjadi bahan acuan bagi anak maupun orang tua untuk menghadapi orang lain dan melihat masalah dalam sisi yang berbeda. Mungkin tidak akan pernah ada jawaban yang benar dalam konflik batin sang anak saat ini. Akan tetapi, semoga refleksi kecil ini memberikan pandangan yang baru kepada orang-orang lain di sekitarnya sebelum menarik kesimpulan atas perkataan mentah dari orang tua yang berkata seperti itu pada anaknya.

Ada hal lain yang ingin saya bagikan kepada anak dan orang tua dalam blog saya. Ini merupakan prinsip yang akan terjadi pada sebuah keluarga tentang pendidikan anak :

Jika anak hidup dalam suasana penuh kritik,
ia akan belajar untuk menyalahkan.

Jika anak hidup dalam permusuhan,
ia akan belajar untuk berkelahi.

Jika anak hidup dalam ketakutan,
ia akan belajar untuk gelisah.

Jika anak hidup dalam belas kasihan diri,
ia akan belajar untuk mudah memaafkan dirinya sendiri.

Jika anak hidup dalam ejekan,
ia akan belajar untuk merasa malu.

Jika anak hidup dalam kecemburuan,
ia akan belajar untuk iri hati.

Jika anak hidup dalam rasa malu,
ia akan belajar untuk merasa bersalah.

Jika anak hidup dalam semangat dan jiwa besar,
ia akan belajar untuk percaya diri.

Jika anak hidup dalam suasana saling menghargai orang lain,
ia akan belajar untuk setia dan sabar.

Jika anak hidupnya diterima apa adanya,
ia akan belajar untuk mencintai.

Jika anak hidup dalam suasana rukun,
ia akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri.

Jika anak hidupnya dimengerti,
ia akan belajar bahwa sangat baik untuk mempunyai cita-cita.

Jika anak hidup dalam suasana adil,
ia akan belajar kemurahan hati.

Jika anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas,
ia akan belajar tentang kebenaran dan keadilan.

Jika anak hidup dalam rasa aman,
ia akan belajar untuk percaya kepada dirinya dan kepada orang lain.

Jika anak hidup dalam suasana penuh persahabatan,
ia akan belajar bahwa dunia ini merupakan suatu tempat yang indah untuk hidup.

0 comments:

Post a Comment